This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Kireina] Upacara minum teh di Jepang

Upacara minum teh di Jepang

Moshi-moshi minasan, pastinya dulu waktu sekolah sering banget upacara kan ,bahkan hari-hari besarpun diadakan upacara. Tapi beda halnya dgn di Negara Jepang, disanapun jg ada upacara yg sangatlah unik yaitu Upacara Minum Teh. Heran bukan ?? tak usah kelamaan langsung aja simak pengertian dan sejarahnya.


Upacara minum teh (sadō, chadō, jalan teh) adlh ritual tradisional Jepang dlm menyajikan teh untk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō / cha no yu. Upacara minum teh yg diadakan di luar ruangan disebut nodate.

Teh disiapkan secara khusus oleh orang yg mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untk minum teh yg disebut chashitsu. Tuan rumah jg bertanggung jawab dlm mempersiapkan situasi yg menyenangkan untk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yg sesuai dgn musim dan status tamu yg diundang.

Teh bukan cuma dituang dgn air panas dan diminum, tapi sebagai seni dlm arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yg mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dlm ruangan upacara minum teh (chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yg bergantung pd aliran upacara minum teh yg dianut.

Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dgn penyempurnaan yg berlangsung seumur hidup. Tamu yg diundang secara formal untk upacara minum teh jg harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yg dihidangkan.

Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yg dibuat dari teh hijau yg digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō.

Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh / belajar etiket sebagai tamu dlm upacara minum teh.

Upacara minum teh di Jepang


Sejarah

Lu Yu (Riku U) adlh seorang ahli teh dari dinasti Tang di Tiongkok yg menulis buku berjudul Ch'a Ching / Chakyō (bahasa Inggris: Classic of Tea). Buku ni merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.

Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yg dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik Nihon Kōki menulis tentang Kaisar Saga yg sangat terkesan dgn teh yg disuguhkan pendeta bernama Eichu sewaktu mengunjungi Provinsi Ōmi di tahun 815. Catatan dlm Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.

Pada masa itu, teh jg masih berupa teh hasil fermentasi setengah matang mirip Teh Oolong yg dikenal sekarang ini. Teh dibuat dgn cara merebus teh di dlm air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama Buddha. Teh belum dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh tak sempat menjadi populer.

Di zaman Kamakura, pendeta Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen di Jepang sambil memperkenalkan matcha yg dibawanya dari Tiongkok sebagai obat. Teh dan ajaran Zen menjadi populer sebagai unsur utama dlm penerangan spiritual. Penanaman teh lalu mulai dilakukan di mana-mana sejalan dgn makin meluasnya kebiasaan minum teh.

Permainan tebak-tebakan daerah tempat asal air yg diminum berkembang di zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan menjadi populer sebagai judi yg disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yg yang diminum.

Pada masa itu, perangkat minum teh dari dinasti Tang dinilai dgn harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh menjadi populer di kalangan daimyo yg mengadakan upacara minum teh secara mewah menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ni dikenal sebagai Karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh Jepang yg bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh jg harus merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yg dijamu. Acara minum teh yg diperkenalkan Jukō merupakan asal-usul upacara minum teh aliran Wabicha.

Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota Sakai bernama Takeno Shōō dan disempurnakan oleh murid (deshi) yg bernama Sen no Rikyū di zaman Azuchi Momoyama. Wabicha ala Rikyū menjadi populer di kalangan samurai dan melahirkan murid-murid terkenal seperti Gamō Ujisato, Hosokawa Tadaoki, Makimura Hyōbu, Seta Kamon, Furuta Shigeteru, Shigeyama Kenmotsu, Takayama Ukon, Rikyū Shichitetsu. Selain itu, dari aliran Wabicha berkembang menjadi aliran-aliran baru yg dipimpin oleh daimyo yg piawai dlm upacara minum teh seperti Kobori Masakazu, Katagiri Sekijū dan Oda Uraku. Sampai saat ni masih ada sebutan Bukesadō untk upacara minum teh gaya kalangan samurai dan Daimyōcha untk upacara minum teh gaya daimyō.

Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yg sangat kaya. Memasuki pertengahan zaman Edo, penduduk kota yg sudah sukses secara ekonomi dan membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara minum teh.

Kalangan penduduk kota yg berminat mempelajari upacara minum teh disambut dgn tangan terbuka oleh aliran Sansenke (tiga aliran Senke: Omotesenke, Urasenke dan Mushanokōjisenke) dan pecahan aliran Senke.

Kepopuleran upacara minum teh menyebabkan jumlah murid menjadi semakin banyak sehingga perlu diatur dgn suatu sistem. Iemoto seido adlh peraturan yg lahir dari kebutuhan mengatur hirarki antara guru dan murid dlm seni tradisional Jepang.

Upacara minum teh di Jepang

Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke) dan YÅ«gensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai yg bernama Kawakami Fuhaku (Edosenke generasi pertama) kemudian memperkenalkan metode baru belajar upacara minum teh yg disebut Shichijishiki. Upacara minum teh dpt dipelajari oleh banyak murid secara bersama-sama dgn metode Shichijishiki.

Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang untk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yg semakin populer di kalangan rakyat jg berdampak buruk terhadap upacara minum teh yg mulai dilakukan tak secara serius seperti sedang bermain-main.

Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dlm upacara minum teh dgn menekankan pentingnya nilai spiritual dlm upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yg merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dlm memperkenalkan nilai spiritual upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijaku yg berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.

Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip Ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara minum teh yg sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan dgn penambahan prosedur sistematis yg riil seperti otemae (teknik persiapan, penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya serta dasar filosofi yg bersifat abstrak.

Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yg menggunakan matcha yg disempurnakan kalangan samurai menjadi tak populer di kalangan masyarakat karena tata krama yg kaku. Masyarakat umumnya menginginkan upacara minum teh yg bisa dinikmati dgn lebih santai. Pada waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pd teh sencha yg biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yg menggunakan sencha jg mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yg dikenal jg sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dgn sencha (Senchadō) yg menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.

Pemerintah feodal yg ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era Meiji. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.

Pada tahun 1906, pelukis terkenal bernama Okakura Tenshin menerbitkan buku berjudul The Book of Tea di Amerika Serikat. Memasuki awal abad ke-20, istilah sadō / chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dgn istilah cha no yu / Chanoyu.

0 Response to "[Kireina] Upacara minum teh di Jepang"

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *