This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Makan / Minum dari Piringnya Non-Muslim, Halalkah?

tiagedhut.blogspot.com - Ketika memberikan kajian tentang thaharah dan sub pembahasannya yg di dalamnya ada pembahasan najis, mau tak mau pasti membahas tentang pembagian najis dan cara mensucikannya. Pembagian ini, oleh kebanyakan ulama (syafiyyah khususnya) dibagi menjadi 3 jenis; mukhaffafah (ringan), Mutawasithah (sedang), mughalladzoh (berat).
*Cara Mensucikan Benda Yang Terkena Najis*
Najis mukhaffafah, cara pensuciannya cukup dipercikkan saja airnya, / diusap; karena memang begitu bunyi wahyunya. Dan perlu diingat bahwa perkara thaharah ni adlh perkara wahyu, bukan logika. Walaupun terlihat masih tersisa najisnya, kalau wahyunya bilang itu sudah suci, ya terhitung suci.
Makan / Minum dari Piringnya Non-Muslim, Halalkah?Najis mutawasithah, cara pensuciannya mesti dihilangkan sifat najis tersebut; baunya, warnanya, dan rasanya. Intinya benda / anggota tubuh yg terkena najis tersebut sudha steril dari bekas najis tersebut.
Najis mughaladzoh, cara pensuciannya mesti dgn 7 kali bilasan air, dan salah satunya dgn tanah. Yaitu najis anjing dan babi (menurut al-Syafiiyah), / air liurnya menurut madzhab Imam Malik. Jadi walaupun dgn satu bilasan sudah terlihat bersih, itu tak bisa dikatakan sudah suci. Itu bisa dikategorikan suci kalau memang sudah memenuhi birokrasi pensucian najis besar; yaitu dgn 7 kali bilasan dan salah satunya dgn air.
Artinya kalau ada bejana / wadah apapun itu yg tersentuh / terjilat anjing dan babi, / jg bekas dipakai untk menjadi wadah daging anjing serta babi, mensucikannya harus dgn 7 kali bilasan dan salah satu bilasannya dgn air.
*Makan/Minum dari Wadahnya Non-Muslim*
Kemudian timbul banyak pertanyaan (sebagaimana pertanyaan-pertanyaan yg diajukan kepada saya dlm kajian-kajian), yaitu perihal memakan makanan di rumahorang non-muslim yg mengkonsumsi makanan yg terlarang dlm syariah-nya orang muslim, seperti babi dan anjing / jg alcohol.
Di tengah masyarakat yg heterogen seperti ini, sudah bukan sesuatu yg tabu lagi bahwa kita (muslim) pasti ada saja kesempatan berkunjung ke rumah non-muslim. Seperti pesta pernikahan misalnya, / jg urusan pekerjaan (bos mengundang makan di rumahnya) dan banyak lagi modelnya.
Nah, apakah boleh memakan makanan dari piring mereka, sedangkan kita ragu mungkin saja piring itu bekas gading babi / anjing. Kalaupun sudah dicuci, pasti cara mencucinya tak sesuai syariah; 7 kali bilasan + tanah. Itu berarti wadah tersebut masih najis, dan terkena makanan yg ada di atasnya menjadi najis pula. Pertanyaan ni selalu muncul.
*Keyakinan Vs Keragu-raguan*
Yang perlu diperhatikan dlm hukum syariah, sesuatu yg nyata dan jelas terlihat itu menjadi sesuatu yg meyakinkan. Dan sesuatu yg statusnya meyakinkan, tak bisa dirubah hukumnya dgn sesuatu yg masih samar dan tak jelas, apalagi belum terlihat dan tak ada nyatanya.
Maka perlu dilihat, sajian yg kita makan itu, apakah halal / tidak? kalau itu makanan yg memang hukumnya halal (bukan daging anjing, babi / alcohol) dan bukan haram, tentu tak masalah. itu poin pertama.
Kemudian yg kedua, wadah yg digunakan, apakah wadah itu halal, tak kotor, Ada najisnya, / memang bersih dan steril dari benda-benda najis seperti darah, Khamr, dan benda najis lainnya. Kalau steril, tentu menjadi tak masalah.
Dari 2 poin si atas, makanan yg ada depan mata kita itu ternyata hukum halal; makanannya halal, wadahnya pun halal. Itu yg nyata terlihat dan meyakinkan statusnya.
Kemudia timbul keraguan; "wadah ni bekas dipakai makan daging anjing / babi, dan dicuci dgn tak sesuai tuntunan syariah muslim. Kalau begitu ni status najis, karena najis maka tak halal dimakan."
Tapi sayangnya, paragraph di atas itu hanya timbul di hayalan saja. Itu praduga yg kebenaran tak bisa dipertanggungjawabkan. Dari pernyataan yg aslinya duga-duga itu muncul banyak ihtimal (spekulasi kemungkinan) yg bisa menjatuhkan duga-duga itu.
Si non-muslim itu tak hanya punya piring satu, di dapurnya banyak piring yg mungkin saja piring bekas daging babi/anjing bukan yg ada di hadapan kita ini.
Atau bisa saja, piring yg dipakai itu ialah piring sewaan untk memenuhi kebutuhan piring guna melayani tamu yg datang. artinya bahwa duga-duga itu tak kuat, apalagi kalau si tuan rumah sudah mengatakan bahwa ia memisahkan wadah untk daging anjing/babi dna untk selainnya.
Apalagi kita di Indonesia, pengetahuan soal najisnya anjing babi itu bukan hanya diketahui oleh muslim saja, semua orang di Indonesia ni tahu sampai orang non-muslimnya. Mereka sudah terbiasa hidup di lingkuna mayoritas muslim, sehingga ketika menggelar acara yg mengundang muslim di dalamnya, mestilah mereka memperhatikan etika itu, dgn tak mencampur adukan daging halal dan haram (versi syariah Islam).
Artinya duga-duga itu tak bisa merubah hukum yg sudah nyata ada di depan mata, yaitu halal dan boleh, karena makanannya makanan halal, dan wadahnya pun bersih serta halal.
Kecuali jika si tuan rumah secara terang-terangan bahwa piring yg ada di hadapan kita itu adlh piring bekas santapan daging anjing dan babi. Maka statusnya pun menjadi haram untk digunakan karena itu adlh najis. Itu kalau jelas ada pernyataan seperti itu.
So. Hukum haruslah didasarkan pd sesuatu jelas dan tak mengandung ihtimal (kemungkinan-kemungkinan). Dan sesuatu yg meragukan, tak bisa merubah status hukum yg sudah jelas dan meyakinkan.
Wallahu a'lam

other source : http://flickr.com, http://zarkasih20.blogspot.com, http://news.detik.com


0 Response to "Makan / Minum dari Piringnya Non-Muslim, Halalkah?"

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *