This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Seni & Perubahan Iklim - Memoar


tiagedhut.blogspot.com - Kita akan selalu butuh tanah.Kita akan selalu butuh air.Kita akan selalu butuh udara.Jadi teruslah merawat. (Sisir Tanah - Lagu Hidup)
Beberapa waktu lalu, tepatnya 8 September 2015, di Yogyakarta diselenggarakan Seminar Estetik Galeri Nasional #2 bertajuk Larut: Seni, Pengalaman & Pengetahuan. Salah satu poin yg membekas betul adlh pertanyaan pembuka materi ketiga, yg dilontarkan pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Kurniawan Adi Saputro. Kalau seni ingin mengatakan sesuatu, yg bukan dirinya sendiri, apa yg belum terkatakan?

Ada tiga percobaan seni yg disorot oleh Kurniawan Adi Saputro, yakni usaha untk menjangkau isu holocaust, dragnet (penyadapan besar-besaran), dan perubahan iklim. Claude Lanzmann mencoba bermain di isu pertama, holocaust, dgn membuat film dokumenter berjudul Shoah (1985). Sejak zaman kuno, seni sudah terlampau sering merekam peperangan, jg pembantaian. Namun, holocaust berbeda, ia bukan amuk massa / perang antarbangsa. Holocaust adlh operasi penjagalan secara sistematis. Merefleksi holocaust dlm karya seni merupakan upaya seni mengatakan sesuatu yg belum terkatakan.
Isu kedua, dragnet, digarap Trevor Paglen dgn cara mengungkap lembaga dan alat-alat penyadapan yg dirahasiakan dari mata publik. Penyadapan bisa dibilang isu baru (apalagi dlm seni), yg merupakan konsekuensi dari perkembangan teknologi yg kian pesat dewasa ini. Dahulu, orang tak terlalu khawatir obrolannya disadap pihak lain. Sebab, dulu memang dirasa belum ada aktivitas penyadapan besar-besaran seperti hari ini. Paglen merasa penting untk menyorot isu dragnet, penyadapan adlh sesuatu yg nyata tetapi tak terpikirkan karena kita belum memiliki model untk bisa memikirkannya. Penyadapan adlh sistem tanpa model. (Floridi, 2014: 318)
Terkait dgn isu ketiga, di akhir makalahnya, Kurniawan Adi Saputro menulis, seni, saya memberi usul, dpt menciptakan ungkapan-ungkapan, gambar-gambar, dan angan-angan yg dpt menjadi model untk kenyataan perubahan iklim yg sudah, sedang, dan akan terus terjadi hingga beberapa abad ke depan. Tanpa model, kenyataan laten bergerak dan berkembang terus tanpa bisa kita kendalikan. Oleh sebab itu, mesti ada model (tentu saja lewat seni) yg sanggup merepresentasikan perubahan iklim, dan kesuraman dlm dirinya!
Pengalaman dan Pengamatan di Jogja Jogja (Yogyakarta) adlh kota yg ideal untk seni, entah sebagai praktik / kajian. Di sana, bisa dijumpai beberapa upaya menjangkau isu ketiga dari bahasan ini, perubahan iklim. Dalam seni rupa, upaya menjangkau perubahan iklim ditunjukkan oleh Setu Legi dlm pameran bertajuk Tanah Air di awal tahun ini. Tanah air digambarkan Setu Legi bukan dgn ingar-bingar warna-warni yg mencitrakan keberagaman, dan sebagainya. Setu Legi justru menyajikan kesuraman tanah air dlm karya-karyanya.
Setu Legi terkesan menghindari warna cerah. Lebih banyak ia pakai warna coklat, yg merepresentasikan tanah, sekaligus memberi kesan tandus. Coklat adlh warna tanah tanpa rumput, tanpa pohon. Warna lain yg dipakai paling-paling hitam, abu-abu, dan merah. Mencitrakan perubahan iklim memang relatif sulit. Bagaimana caranya menggambarkan iklim itu sendiri? Setu Legi memakai tanah sebagai model. Sebab, tanah akan berubah seiring dgn perubahan iklim. Bahkan, jangankan iklim, kondisi tanah saat musim kemarau dan penghujan saja berbeda. Tanah berubah bersama musim.
Lain dgn Setu Legi yg dlm karyanya lebih menyorot dampak perubahan iklim, Sisir Tanah justru memakai pendekatan preventif. Perubahan iklim disebabkan oleh kerusakan alam yg berasal dari ulah manusia. Kerusakan alam memang sudah terjadi, tetapi belum selesai, dgn kata lain: kerusakan alam masih terjadi. Sembari membenahi kerusakan yg lalu-lalu, Sisir Tanah mengajak penikmat karyanya untk mencegah kerusakan yg lebih parah. Media yg Sisir Tanah pakai bukan seni rupa, melainkan seni musik.
Beberapa lagu Sisir Tanah tercatat memilih isu lingkungan untk materi syairnya. Sebut saja Lagu Cinta, Bebal, dan Lagu Hidup. Bukan itu saja, di lagu lain pun term-term alam masih mudah ditemukan, semisal dlm lagu Kita Mungkin, kita mungkin bertemunya mata air, mungkin pula sungai yg mengalir. Kita mungkin hanya jejak luka, yg letakkan letih sebentar. Kita mungkin janji air pd tanah, mungkin pula janji angin pd api. Hidup agar tetap membuat tumbuh, tak padamkan tiap janji. Begitu pula dlm Lagu Wajib, yg wajib dari hujan adlh basah, yg wajib dari basah adlh tanah, yg wajib dari tanah adlh hutan, yg wajib dari hutan adlh tanam.
Setu Legi dan Sisir Tanah hanya segelintir seniman yg berupaya menyuarakan isu-isu lingkungan, yg berdampak pd perubahan iklim, melalui karya-karya mereka. Masih banyak, dan memang harus bertambah banyak lagi. Apalagi, akhir-akhir ni kita menjumpai berbagai isu kerusakan, jg upaya perusakan, alam Indonesia. Setiap kita mesti menjaga dan merawat alam Indonesia. Selemah-lemah iman adlh yg sekadar berdoa, semisal, semoga arwah Salim Kancil diberikan tempat terbaik di sisi-Nya dan pelaku pembunuhan dihukum seberat-beratnya!

other source : http://adiksikopi.blogspot.com, http://flickr.com, http://youtube.com

0 Response to "Seni & Perubahan Iklim - Memoar"

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *