tiagedhut.blogspot.com - Kali ni saya ajak pembaca untk ikut berpartisipasi mencari pembuktian dari analisa sederhana saya
Sekali-kali mari kita berbuat iseng dgn datang ke praktek dokter di kota kita masing-masing. Lalu sampaikan keluhan pd dokter tersebut:
Katakan saja pd dokter tersebut bahwa perut kita terasa mual tiap kali habis makan gorengan. Sampaikan pula bahwa tiap malam perut kita mengeluarkan suara-suara aneh tertentu. Ramalan saya, dokter akan memeriksa perut kita. Setelah itu dia akan memberi sedikit saran dan... MENULIS SEJUMLAH RESEP. Saat kita tanya tentang penyakit kita, biasanya dokter memberi diagnosa tertentu tanpa memberi tahu alasan diagnosanya.
Ohya, tak jarang dokter akan memberikan suntikan obat pd kita tanpa memberi tahu tentang jenis dan harga obat tersebut terlebih dahulu. Sebagai pasien kita hanya terbiasa percaya penuh pd kebijaksanaan dokter dlm memperlakukan tubuh kita. Setelah semua selesai, maka kita pun akan menanyakan pd dokter berapa biayanya? Dokter pun akan menyebut suatu angka tertentu. Namanya jg sedang iseng, cobalah kita tawar biaya dokter tersebut. Berani?
Keesokan harinya kita lanjutkan eksperimen kecil-kecilan kita. Datanglah ke dokter lain di kota kita masing-masing. Kepada dokter tersebut sampaikanlah keluhan yg berbeda dgn keluhan pd dokter pertama. Misalkan, sampaikan pd dokter bahwa kepala kita sering pusing. Tidak jarang dunia terasa berputar dan kita sering jatuh karenanya. Maka ritual yg mirip akan kita alami seperti percobaan pertama. Ujung-ujungnya dokter akan menulis sejumlah resep juga. Jangan lupa pd dokter yg kedua ni kita perlu "menawar" biaya juga. Dijamin kita tak akan celaka karenanya. Dari kedua eksperimen diatas, kita sudah memperoleh beberapa jawaban atas perilaku praktek dokter yg umum terjadi di Indonesia. Kita mulai dari diagnose berbeda yg dihasilkan oleh dokter yg berbeda. Apa yg bisa kita simpulkan?
Inti dari kedua percobaan diatas adlh bahwa seringkali diagnose dokter bersifat subyektif. Tubuh kita yg sehat pun bisa didiagnose sakit. Diagnose kerap diperoleh dokter dari proses anamnesa (keluhan pasien). Masalahnya proses ni sangat subyektif. Atas kesimpulan yg kurang meyakinkan itu seorang dokter berani memberi resep obat bahkan suntikan pd pasiennya. Saat belajar biokimia kita selalu diingatkan: "Semua substansi adlh racun, yg membedakannya sebagai obat adlh dosis"
Racun-racun kimia yg berjudul obat inilah yg dipaksakan oleh para dokter untk dikonsumsi pasiennya tanpa ada penjelasan apapun. Pernah tak kita diajak diskusi dokter tentang manfaat dan mudharat obat yg harus kita konsumsi tersebut? Pernah tak kita diminta persetujuan?. Karena diagnose yg tak pasti diatas maka tak jarang dokter menggunakan obat sebagai salah satu senjata diagnose pula. Pernah dengar dokter yg berpesan, "jika obat habis tapi belum sembuh segera datang kembali". Dibalik pesan tersebut ada sesuatu yg tak diketahui pasien yg awam. Sesungguhnya itu adlh bukti bahwa tubuh kita sudah dijadikan "Percobaan"!
Dokter yg masih meraba-raba penyakit kita akan nekat memberikan obat hanya sekedar untk menguji kebenaran diagnosenya. Kalo masih belum sembuh berarti diagnosenya salah. Hajar dgn obat yg lain! Begitu seterusnya. Begitu pulalah tubuh kita dijadikan eksperimen oleh para dokter. Lalu siapa yg menanggung seluruh resiko? Kita!! Bayangkan, selain tubuh kita harus terpapar berbagai obat kimia kantong kita jg harus bolong karenanya. Komplit! Makin sering dokter melakukan kesalahan makin banyak pemasukannya. Sebaliknya, bagi pasien makin teracuni dan bangkrut! Itu baru proses diagnose yg potensial menimbulkan malpraktek. Lalu bagaimana dgn obatnya sendiri? Nah, disinilah mafia sesungguhnya!
Sebelumnya kita sebagai pasien/konsumen harus menyadari betul informasi yg sering sengaja disembunyikan dokter tentang obat generik. Obat generik sesungguhnya memiliki kandungan dan khasiat yg SAMA dg obat paten! Tahukah kita bahwa obat paten yg berharga Rp 10rb sesungguhnya biaya produksinya tak lebih dari Rp 200 saja! Bayangkanlah betapa suksesnya program kesehatan kita jika tiap dokter lebih menganjurkan menggunakan obat generik.
Tapi yg terjadi di lapangan justru sebaliknya. Dokter seolah enggan memberi resep obat generik. Bahkan seringkali terjadi proses pembodohan pasien. Lalu apa yg sesungguhnya tjd pd bisnis obat ini? Kita akan sedikit bongkar mafia obat dlm tulisan ini.
Mafia obat itu sesungguhnya sangat mengerikan karena menghalalkan segala cara. Tapi disini kita fokus pd bagian yg berkaitan dgn dokter saja. Biasanya hubungan dokter dan produsen obat melalui medrep (medical representative) / sering disebut detailer. Medrep ni dibebani target-target tertentu oleh perusahaan. Sebagai senjatanya mereka jg berhak menawarkan diskon dan fasilitas tertentu pd rekanan. Siapa rekanan medrep? Tentu saja dokter! Tapi sejak dokter dilarang "menjual" obat secara langsung pd pasien maka ada pemain lain, apotek.
Medrep biasanya mengincar dokter-dokter yg laris / senior. Karena merasa dibutuhkan maka dokter bisa jual mahal. Tugas dokter sederhana, hanya menulis resep produksi produsen tertentu untk suatu penyakit tertentu. Tapi tentu saja dokter deal pd produsen yg paling besar iming-iming diskon / bonusnya. Maka berlombalah para medrep dlm membujuk dan memberi bonus pd dokter. Ingat, mereka pun kena target dari perusahaan. Alhasil bonus pun beraneka rupa. Mulai dari Uang, liburan ke luar negeri, mobil hingga wanita! Tentu dgn catatan target terpenuhi!
Dari gambaran diatas kita bisa melihat hubungan harga obat yg mahal dan mafia obat. Bonus liburan, mobil, uang dan bahkan bonus wanita para dokter tersebut sesungguhnya dibebankan pd pasien. Kitalah yg membayarnya! Itulah sebabnya harga obat di Indonesia menjadi termasuk yg termahal di dunia! Itu pula lah sebabnya para dokter tak memberi opsi pilihan obat kepada pasiennya. Jangankan obat generik, sesama obat patenpun tidak!
Sebagai konsumen sudah sewajarnya dokter menawarkan secara terbuka obat-obat apa saja yg tersedia di pasar beserta harganya. Obat-obat tersebut sebenarnya kandungannya sama saja, hanya mereknya yg beda. Istilah yg umum dipakai untk obat-obat itu adlh "Me to drugs". Syukur-syukur jika dokter ikut berperan menyukseskan program pemerintah terhadap obat generik. Bukan malah memboikotnya demi kepentingan pribadi. Sebagai pasien kita jg bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Jangan hanya bisa menghujat dokter saja. Dokter jg manusia kan? :)
Sudah tak jamannya lagi kita sebagai pasien hanya pasrah bongkokan pd dokter kita. Kita memiliki hak penuh terhadap tubuh kita! Jika bukan kita sendiri yg membela hak kita lalu siapa lagi? Maka mulai sekarang selalulah bersikap kritis pd dokter kita. Tanyakan secara terbuka apa-apa yg kita ingin tahu. Contoh, obat apa yg disuntikkan ke tubuh kita, apa alasan diagnosanya.. Apa alasan dokter memberi resep tersebut pd kita, adakah pilihan obat yg lebih murah, adakah produk generiknya? Jika ada dokter yg menolak memberikan pilihan obat generik pd kita maka karir dokter tersebut bisa tamat!
Lalu apa maksud eksperimen untk menawar biaya berobat pd dokter? Tidak ada! Kita hanya perlu menguji dia masih dokter / sudah jadi pedagang. Saat kita datang kembali ke dokter yg sama kita bisa membuktikannya. Jika dia berubah ketus maka dia bukan lagi seorang dokter. Kita sudah tahu hak-hak kita. Jika kita menolak menggunakan hak-hak kita, maka kita tak layak mengeluh jika hak kita teraniaya. Mari kita berhenti berkeluh kesah tapi lebih bertanggung jawablah pd diri sendiri!
Kepada rekan-rekan para dokter kami ingin tanyakan, masihkah kalian ingat sumpah dokter kalian? Atau jangan-jangan hanya dianggap seremoni belaka? Ohya, satu hal lagi. Masih banyak dokter-dokter hebat yg masih idealis dan melayani masyarakat. Saya punya teman-temen dokter seperti itu!
Medrep biasanya mengincar dokter-dokter yg laris / senior. Karena merasa dibutuhkan maka dokter bisa jual mahal. Tugas dokter sederhana, hanya menulis resep produksi produsen tertentu untk suatu penyakit tertentu. Tapi tentu saja dokter deal pd produsen yg paling besar iming-iming diskon / bonusnya. Maka berlombalah para medrep dlm membujuk dan memberi bonus pd dokter. Ingat, mereka pun kena target dari perusahaan. Alhasil bonus pun beraneka rupa. Mulai dari Uang, liburan ke luar negeri, mobil hingga wanita! Tentu dgn catatan target terpenuhi!
Dari gambaran diatas kita bisa melihat hubungan harga obat yg mahal dan mafia obat. Bonus liburan, mobil, uang dan bahkan bonus wanita para dokter tersebut sesungguhnya dibebankan pd pasien. Kitalah yg membayarnya! Itulah sebabnya harga obat di Indonesia menjadi termasuk yg termahal di dunia! Itu pula lah sebabnya para dokter tak memberi opsi pilihan obat kepada pasiennya. Jangankan obat generik, sesama obat patenpun tidak!
Sebagai konsumen sudah sewajarnya dokter menawarkan secara terbuka obat-obat apa saja yg tersedia di pasar beserta harganya. Obat-obat tersebut sebenarnya kandungannya sama saja, hanya mereknya yg beda. Istilah yg umum dipakai untk obat-obat itu adlh "Me to drugs". Syukur-syukur jika dokter ikut berperan menyukseskan program pemerintah terhadap obat generik. Bukan malah memboikotnya demi kepentingan pribadi. Sebagai pasien kita jg bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Jangan hanya bisa menghujat dokter saja. Dokter jg manusia kan? :)
Sudah tak jamannya lagi kita sebagai pasien hanya pasrah bongkokan pd dokter kita. Kita memiliki hak penuh terhadap tubuh kita! Jika bukan kita sendiri yg membela hak kita lalu siapa lagi? Maka mulai sekarang selalulah bersikap kritis pd dokter kita. Tanyakan secara terbuka apa-apa yg kita ingin tahu. Contoh, obat apa yg disuntikkan ke tubuh kita, apa alasan diagnosanya.. Apa alasan dokter memberi resep tersebut pd kita, adakah pilihan obat yg lebih murah, adakah produk generiknya? Jika ada dokter yg menolak memberikan pilihan obat generik pd kita maka karir dokter tersebut bisa tamat!
Lalu apa maksud eksperimen untk menawar biaya berobat pd dokter? Tidak ada! Kita hanya perlu menguji dia masih dokter / sudah jadi pedagang. Saat kita datang kembali ke dokter yg sama kita bisa membuktikannya. Jika dia berubah ketus maka dia bukan lagi seorang dokter. Kita sudah tahu hak-hak kita. Jika kita menolak menggunakan hak-hak kita, maka kita tak layak mengeluh jika hak kita teraniaya. Mari kita berhenti berkeluh kesah tapi lebih bertanggung jawablah pd diri sendiri!
Kepada rekan-rekan para dokter kami ingin tanyakan, masihkah kalian ingat sumpah dokter kalian? Atau jangan-jangan hanya dianggap seremoni belaka? Ohya, satu hal lagi. Masih banyak dokter-dokter hebat yg masih idealis dan melayani masyarakat. Saya punya teman-temen dokter seperti itu!
other source : http://viva.co.id, http://hajingfai.blogspot.com, http://pinterest.com
0 Response to "Terampasnya Hak-Hak Pasien Akibat Praktek Dokter & Mafia Obat"
Posting Komentar